Muharram
(Suro) dalam kacamata masyarakat, khususnya Jawa, merupakan bulan keramat.
Sehingga mereka tidak punya keberanian untuk menyelenggarkan suatu acara
terutama hajatan dan pernikahan. Bila tidak di indahkan akan menimbulkan petaka
dan kesengsaraan bagi mempelai berdua dalam mengarungi bahtera kehidupan. Hal
ini diakui oleh seorang tokoh keraton Solo. Bahkan katanya: “Pernah ada yang
menyelenggarakan pernikahan di bulan Suro (Muharram), dan ternyata tertimpa
musibah!”. Maka kita lihat, bulan ini sepi dari berbagai acara.
Selain itu,
untuk memperoleh kesalamatan diadakan berbagai kegiatan. Sebagian masyarakat
mengadakan tirakatan pada malam satu Suro (Muharram), entah di tiap desa,
atau tempat lain seperti puncak gunung. Sebagiannya lagi mengadakan
sadranan, berupa pembuatan nasi tumpeng yang dihiasi aneka lauk dan
kembang lalu di larung (dihanyutkan) di laut selatan disertai kepala
kerbau. Mungkin supaya sang ratu pantai selatan berkenan memberikan
berkahnya dan tidak mengganggu. Peristiwa seperti ini dapat disaksikan di
pesisir pantai selatan seperti Tulungagung, Cilacap dan
lainnya.
Acara
lain yang menyertai Muharram (Suro) dan sudah menjadi tradisi adalah kirab
kerbau bule yang terkenal dengan nama kyai slamet di keraton
Kasunanan Solo. Peristiwa ini sangat dinantikan oleh warga Solo dan sekitarnya,
bahkan yang jauhpun rela berpayah-payah. Apa tujuannya ? Tiada lain, untuk
ngalap berkah dari sang kerbau, supaya rizki lancar, dagangan laris dan
sebagainya. Naudzubillahi min dzalik. Padahal kerbau merupakan simbol
kebodohan, sehingga muncul peribahasa Jawa untuk menggambarkannya : “bodo
ela-elo koyo kebo”. Acara lainnya adalah jamasan pusaka dan kirab
(diarak) keliling keraton.
Itulah
sekelumit gambaran kepercayaan masyarakat khususnya Jawa terhadap bulan Muharram
(Suro). Mungkin masih banyak lagi tradisi yang belum terekam disini.
Kelihatannya tahayul ini diwarisi dari zaman sebelumnya mulai animisme,
dinamisme, hindu dan budha. Ketika Islam datang keyakinan-keyakinan tersebut
masih kental menyertai perkembangannya. Bahkan terjadi sinkretisasi
(pencampuran). Ini bisa dicermati pada sejarah kerajaan-kerajaan Islam di
awal pertumbuhan dan perkembangan selanjutya, hingga dewasa ini ternyata masih
menyisakan pengaruh tersebut.
Namun
kepentingan kepada Muharram (Suro) ini tidak dimonopoli oleh suku atau bangsa
tertentu. Syi’ah umpamanya, -mayoritas di Iran, meskipun di Indonesia sudah
meruyak di berbagai sudut kota dan desa-, memiliki keyakinan tersendiri tentang
Muharram (Suro). Terutama pada tanggal 10 Muharram, mereka mengadakan acara
akbar untuk memperingati dan menuntut bela atas meninggalnya Al-Husain bin Ali
bin Abi Thalib di Karbala. Seperti dikatakan oleh Musa Al-Musawi tokoh ulama
mereka : “Belum pernah terjadi sepanjang sejarah adanya revolusi suci yang
dikotori kaum Syi’ah dengan dalih mencintai Husain” Perbuatan buruk itu setiap
tahun masih terus dilakukan kaum Syi’ah, terutama di Iran, Pakistan, India dan
Nabtiyah di Libanon. Peritiwa ini sempat menimbulkan pertikaian berdarah anyara
Syi’ah dan Ahlus Sunnah di beberapa daerah di Pakistan yang menelan korban
ratusan jiwa yang tidak bersalah dari kedua belah pihak. (Lihat
Mengapa Kita Menolak Syi’ah, LPPI hal. 85)
Dikatakan
pula: “Orang-orang Syi’ah setiap bulan Muharram memperingati gugurnya Imam
Husain di Karbala tahun 61
H,
peringatan tersebut dilakukan dengan cara berlebih-lebihan. Dari tanggal 1
Muharram sampai 9 Muharram diadakan pawai besar-besaran di jalan-jalan menuju ke
Al-Husainiyah. Peserta pawai hanya mengenakan sarung saja sedang badanya
terbuka. Selama pawai mereka memukul-mukul dada dan punggungnya dengan rantai
besi sehingga luka memar. Acara puncak dilakukan dengan melukai kepala terutama
dahinya sehingga berlumuran darah. Darah yang mengalir ke kain putih yang
dikenakan sehingga tampak sangat mencolok. Suasana seperti itu membuat mereka
yang hadir merasa sedih, bahkan tidak sedikit yang menangis histeris.
(Lihat
Mengapa Kita Menolak Syi’ah, LPPI, hal. 51)
Mengapa
mereka begitu ekstrim? Karena ziarah ke kuburan Al-Husain merupakan amalan yang
mereka anggap paling mulia. Dalam kitab mereka semisal Furu’ul Kafi oleh
Al-Kulani, Man La Yahdhuruhul Faqiihu oleh Ibnu Babawih dan kitab
lainnya, diriwayatkan : “… Barangsiapa mendatangi kubur Al-Husain pada hari
Arafah dengan mengakui haknya maka Allah akan menulis baginya seribu kali haji
mabrur, seribu kali umrah mabrur dan seribu kali peperangan bersama Nabi yang
diutus dan imam yang adil”. Dalam kitab Kamiluzaroot dan Bahirul
Anwar disebutkan “ Ziarah kubur Al-Husain merupakan amalan yang paling
mulia”, riwayat lainnya, “Termasuk amalan yang paling mulia adalah ziarah kubur
Al-Husain”. Bahkan Karbala itu lebih mulia dibanding Makkah Al-Mukaramah. Karena
Al-Husain dikuburkan di disana. (Lihat
Ushul Madzhab Asy-Syiah Al-Imamiyah Al-Itsna Asyriyah,
Dr Nashir Al-Qifari, hal. 460-464)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.